GRESIK, Jurnalisindependen.co.id – UPT SD Negri 168 Tenaru, Driyorejo. Sekolah negeri. Dibiayai negara. Tapi di balik papan nama itu, sembilan jenis buku LKS dijual ke siswa, Rp12 ribu hingga Rp14 ribu per eksemplar. Bukan buku resmi dari pemerintah. Tidak melalui proses pengadaan. Tidak ada transparansi. Tidak ada pilihan.
Kamis (15/05/2024)
Kepala sekolah Elisa saat dikonfirmasi tidak menjawab substansi. Ia justru melempar tanggung jawab ke Ketua K3S Driyorejo. Lempar tangan adalah sikap paling jujur dari seorang pejabat yang tak siap mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ini bukan sekadar pelanggaran etika. Ini pelanggaran hukum PP 17/2010 Pasal 181 huruf a: Kepala sekolah dan guru dilarang menjual buku kepada peserta didik.
Permendikbud 8/2016: Buku wajib hanya berasal dari pemerintah dan Permendikbud 75/2016 Pasal 10: Pungutan di sekolah hanya boleh dalam bentuk sumbangan sukarela, bukan kewajiban terselubung.
Selain sanksi institusi, Kepala Sekolah dan seluruh Jaringan terkait hal ini bisa dijerat Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tipikor (UU No. 20 Tahun 2001): Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memaksa seseorang memberi sesuatu dengan dalih jabatan, dapat dipidana. Hukuman: penjara minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun, dan denda hingga Rp1 miliar.
Apa yang terjadi di UPT SD Negri 168 Tenaru adalah bentuk pemaksaan. Buku yang tidak diwajibkan oleh negara dijadikan keharusan oleh sekolah. Orang tua dipaksa beli. Siswa dikondisikan tak bisa menolak. Pendidikan negeri dijadikan pasar diam-diam.
Pertanyaannya: siapa penerbitnya? Siapa distribusinya? Apakah ada markup? Jika kepala sekolah menunjuk K3S, maka dugaan keterlibatan struktural harus dibuka terang. Ini bukan lagi urusan satu sekolah Ini pola kolektif.
Dinas Pendidikan Gresik tidak bisa tinggal diam. Jika ini dibiarkan, maka institusi ikut bersalah.
Anak-anak datang untuk belajar, bukan untuk menjadi target pasar. Sekolah negeri adalah ruang aman, bukan ladang dagang terselubung.
Jika kepala sekolah memilih bungkam, maka publik yang harus bersuara. Jika negara tidak menindak, maka masyarakat yang harus menuntut. Karena pendidikan bukan tempat memperdagangkan jabatan, apalagi memperdagangkan anak-anak Sambung.